1 September 2022

Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 2022

Setelah pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat dihantam badai pandemi Covid-19 pada 2020 serta 2021, sejumlah lembaga menyatakan optimismenya terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022. Optimisme itu telah disampaikan secara resmi oleh sejumlah institusi mulai dari Bank Indonesia (BI), Fitch Ratings, hingga LPEM FEB UI.

Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2022 akan berada pada kisaran 4,7% hingga 5,5% secara year on year (yoy). Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya yang diperkirakan tumbuh di kisaran 4,6% - 5,4% (yoy).

Angka proyeksi pertumbuhan ini juga lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2021 oleh BI yang berkisar 3,2% - 4,0% (yoy). Selain pemulihan ekonomi global yang berimbas pada kinerja ekspor, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 juga akan ditopang oleh naiknya permintaan konsumsi dan investasi domestik.

Begitu pula dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) yang memperkirakan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 dapat tumbuh di kisaran 5,1% - 5,4% dibandingkan tahun sebelumnya.

Angka perkiraan ini lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi dari lembaga tersebut pada 2021 yang mencapai 3,7% - 3,9% yoy. LPEM FEB UI memperkirakan bahwa mulai tahun 2022, Indonesia dapat Kembali ke lintasan pertumbuhan jangka panjangnya (long term growth trajectory).

Baca Juga: Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Perekonomian Indonesia

Lembaga pemeringkat Fitch Ratings bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 akan melompat hingga ke angka 6,8% (yoy). Fitch bahkan memproyeksikan pertumbuhan tinggi ekonomi Indonesia itu akan berlangsung selama beberapa tahun ke depan.

Fitch memandang optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan melihat sejumlah indikator. Salah satunya yakni adanya penurunan kesenjangan output negatif akibat pandemi. Selain itu, prospek pertumbuhan ekonomi juga didorong oleh reformasi struktural yang mendongkrak investasi. Salah satunya yakni adanya Undang-Undang Cipta Kerja.

Namun demikian, lembaga pemeringkat ini tetap memperingatkan adanya risiko yang membayangi prospek perekonomian, yakni adanya risiko terkait dengan evolusi virus yang menyebabkan pandemi Covid-19.

Indonesia dinilai harus mampu menjaga stabilitas di sektor kesehatan karena selain terdapat risiko peningkatan kasus, juga ada potensi mutasi virus Covid-19.

Jika pemerintah beserta seluruh stakeholder lainnya dan masyarakat dapat mengelola aspek kesehatan dengan baik, aktivitas ekonomi dapat berjalan tanpa adanya pembatasan, maka proyeksi optimistis pertumbuhan ekonomi 2022 menjadi realistis.

Pandangan Lain Mengenai Ekonomi Indonesia Tahun 2022

Kendati banyak lembaga, baik di dalam maupun luar negeri, yang optimistis terhadap prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020, pandangan tetap muncul.

Institute for Development of Economics and Finance (Indef) misalnya, yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 sebesar 4,3% (yoy). Angka proyeksi dari Indef tersebut lebih rendah dibandingkan dengan angka proyeksi pertumbuhan ekonomi yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 5% - 5,5% (yoy).

Indef memperkirakan angka pertumbuhan yang lebih rendah sebagai imbas dari adanya dampak eksternal keberlangsungan pemulihan ekonomi di negara-negara maju yang berpeluang sulit untuk diantisipasi oleh pemerintah pada tahun depan.

Salah satu contoh dampak eksternal dari pemulihan ekonomi di negara-negara maju adalah terjadinya kenaikan harga komoditas energi secara global. Minyak bumi yang merupakan salah satu bahan baku utama energi akan mengalami kenaikan harga. Begitu pula dengan harga energi yang menjadi substitusi dari minyak bumi seperti gas alam dan batubara.

Sebagai imbas dari kenaikan harga energi, biaya produksi pun akan naik. Pada muaranya adalah harga-harga produk yang akan menjadi lebih mahal dibandingkan sebelumnya. Sebagai catatan, hal ini akan terjadi pada saat daya beli masyarakat masih belum benar-benar pulih dari dampak pandemi.

Selain harga energi serta belum pulihnya daya beli masyarakat, tantangan dalam menjaga biaya produksi juga akan dibayangi oleh dinamika nilai tukar rupiah.

Dalam pandangan Indef, kecepatan untuk meredam efek samping dari kebijakan stabilisasi negara-negara maju akan sangat menentukan dari keberhasilan pencapaian target pemerintah atas pertumbuhan ekonomi pada 2022.

Pasalnya, kenaikan harga energi global tidak hanya berpotensi memicu kenaikan inflasi, tetapi juga dapat memukul kesejahteraan ekonomi masyarakat. Selanjutnya, kenaikan inflasi juga dapat mendorong kenaikan suku bunga global. Hal ini umumnya akan dipicu oleh kenaikan bunga acuan di negara-negara maju terlebih dahulu, sebelum kemudian masuk ke bunga pasar.

Kemudian, gap suku bunga antara negara maju dan negara berkembang kian menipis sehingga dapat mendorong arus modal keluar (capital outflows). Jika skenario pengurangan pembelian surat utang pemerintah AS oleh The Fed dilakukan secara agresif, hal ini akan lebih menekan pasar keuangan di dalam negeri.

Dengan segenap tantangan tersebut, adanya percepatan vaksinasi yang terus dijalankan, pembukaan kembali sektor-sektor ekonomi prioritas yang sempat terdampak pandemi, bauran-bauran kebijakan oleh pemerintah dan instansi terkait, serta penguatan sinergi antar lembaga dapat menjadi modal kuat untuk menyongsong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada 2022.

Bagikan Artikel

Artikel Lainnya